KURIKULUM
DAN TUJUAN PENDIDIKAN
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai
pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali
kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak
pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum
kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk
itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau
praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan
hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena
definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan
dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis
kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang
wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang
kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi
kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan
individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses
pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan
posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan
pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan apa yang
seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide
kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses
implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum
dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur
keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap
secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah
bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran
tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau
ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen maupun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva
(1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a
verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".
Selain kurikulum diartikan
sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum
yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya.
Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini:
- filosofi kurikulum
- ruang lingkup komponen kurikulum
- polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
- posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi
terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang
dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan
"transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai
"transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang
memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner,
1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism
dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner
(1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas
kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan
Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang
merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic
excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana
untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of
intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism
"the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through
permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent
studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas
Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi
essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern
needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics,
science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)
Perbedaan ruang lingkup
kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat
bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham),
ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk
mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan
Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang
berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan
kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang
dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa
kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi
dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1
ayat 19).
Definisi yang dikemukakan
terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan
(kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau
pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi
banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok
yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang
mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di
sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan
rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang
direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara
pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching
(pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena
kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah dalam kurikulum
seperti "planned activities", "written document",
"curriculum as intended", "curriculum as observed",
"hidden curriculum","curriculum as reality", "school
directed experiences", "learner actual experiences"
menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di
kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili
pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan for
achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what
is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.)
mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan,
content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as
methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia
(1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan
pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the
experiences that the learner encounters under the direction of the school.
Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has
much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah
kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is
an interrelated set of plans and experiences which a student completes under
the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6)
dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter
and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually
experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".
Selanjutnya Dool (1993:57)
memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process.
Dengan transfer dan
transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin
mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di
masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang
mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti
berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua
mereka.
Dalam konteks ini maka
disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum,
dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta
didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk
terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang
dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus
adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa
matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap
pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun
dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut
pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini.
Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari
disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait
dengan disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi
social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga
ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa
lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk
kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan
masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada
akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai
aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya.
Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik
untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan
menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya
dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu
memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif).
Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara
maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik
sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya,
masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian
"intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan
Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan
pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan
yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi
peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada
kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan
di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum.
Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah
dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan
dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus
pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi
jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga
menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan
akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan
pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini
hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum
dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup,
dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga
menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan
dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum
harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan
dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta
didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah
kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan
bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi
kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum
adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah
terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan
atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis
perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini.
Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai
masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh
pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme.
Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana
kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan
pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional,
tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia
yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan
nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh
bangsa Indonesia.
Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara
karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh
setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah
kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki
hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar
terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket
B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki
tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup
kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka
kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam
pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang
harus dikembangkan pada diri peserta didik.
Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan
bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
- peningkatan iman dan takwa;
- peningkatan akhlak mulia;
- peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan dunia kerja;
- perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan
berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan
pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi,
budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum
haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan
ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan
pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan
masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana
pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa
depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri,
reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan
disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan
tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan
tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan
kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat,
dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi
tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya
menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai
oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati
jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan
peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan
ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk
persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu.
Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model
penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model
baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah
pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi
mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang
pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan
perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik
maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan
dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan
tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar
keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan
terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal
yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan
pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja
keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain,
dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus
diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97)
mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex process of
assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for
instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti
politik, social, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui
bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut
mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to
and is changed by social forced, philosophical positions, psychological
principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in
history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum
focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut
kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan
kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses
pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi
pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah
awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar
suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase
pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan
transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat
masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan
untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap
sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum
berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses
pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam proses pengembangan
tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan
berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum
menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya
tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87)
bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan
dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua
dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan
evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan
kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam
perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan
harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan
kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan
kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning, management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.
Olivia, P.F. (1997). Developing the Curriculum. 4th edition. New York: Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh,A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation
Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning, management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.
Olivia, P.F. (1997). Developing the Curriculum. 4th edition. New York: Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh,A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation
{ 0 komentar... read them below if any or add comment }
Posting Komentar